Selasa, 24 November 2009

Generasi Digital & Generasi Immigrants

Saya termasuk generasi immigrants. Bagaimana cara saya (guru) memahami generasi digital (siswa)? Yang saya lakukan antara lain "masuk" ke dunia digital, yaitu bersosialisasi di internet. Sama dengan anak muda pada umumnya, saya juga sangat menyukai telepon genggam. Hidup saya sehari-hari tidak pernah lepas dari telepon genggam. Saking sukanya sama telepon genggam, saya mengoleksi telepon genggam (diantaranya dual sim card), mulai dari harga termurah sampai yang harganya mahal (menurut ukuran kantong saya sebagai guru). Lalu apa yang saya perbuat dengan telepon genggam sebanyak itu? Oleh karena sebelumnya saya menyukai informasi berbentuk kertas (koran, buku, majalah), kini sebagian pencarian informasi saya alihkan melalui telepon genggam. Membaca berita-berita di Kompas.com dan Detik.com ternyata untuk berita tertentu, lebih aktual dan mengasyikkan, di samping kita dapat membuka kliping berita-berita lama dengan sangat cepat. Hobi saya membuat kliping dengan tema sejarah, yang sumbernya saya ambil dari media cetak (mayoritas berasal dari KOMPAS), kini hanya tinggal kenangan. Akan tetapi kliping-kliping tersebut, yang usianya ada yang lebih dari 25 tahun tetap saya simpan sebagai harta karun yang sangat berharga.
Karena saya senang menulis, maka sambil mempelajari teknologi (informasi) saya mulai menulis di internet. Diawali dari memberi komentar/saran di beberapa website/blog, sampai akhirnya mempunyai blog sendiri. Seperti blog ini, walaupun sangat sederhana. Maklum baru belajar. Bagi saya yang penting content, design menyusul. Dengan demikian, internet yang semula saya manfaatkan hanya untuk mencari informasi (inactives), sekarang saya gunakan untuk mengekspresikan diri melalui tulisan.
Di sekolah, pada topik/tema tertentu saya menggunakan media digital sebagai media pembelajaran. Untuk topik yang memerlukan pencarian informasi, saya persilakan siswa mencarinya melalui telepon genggam. Hasilnya didiskusikan.
Apa yang saya lakukan ini mudah-mudahan sejalan dengan program Depdiknas tentang bebas buta Teknologi Informasi (TI) bagi para guru pada 2012. Juga untuk mengantisipasi adanya wacana perlunya keahlian TI dimasukkan dalam uji sertifikasi guru.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para guru.

Minggu, 22 November 2009

Keajaiban Google

Suatu saat saya iseng mengetik nama lengkap saya di Google melalui telepon genggam. Saya terkejut, buku antologi puisi (1980-2005) dan cerpen saya terbitan tahun 2005 tersimpan di Australia National Library. Saya tidak menyangka buku-buku saya bisa sampai ke negara seberang. Nama saya juga muncul sebagai alumni jamaah salah satu KBIH di Bandung 1426H. Demikian pula dengan facebook saya, tetapi yang terakhir ini tidak aneh.
Yang menggelikan adalah, dengan kata kunci yang sama (nama lengkap saya), saya menemukan tulisan tertanggal 8 Mei 2001 (Indonesia-Views), yang isi tulisannya sangat sensitif menyangkut nama-nama pejabat tertentu. Barangkali kalau orangnya tahu, wah gawat! Waktu itu belum ada Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik. Sejak kasus email Prita Mulyasari mencuat menjadi kasus hukum, saya selalu berhati-hati menulis di internet. Slogan ICT Watch ”Think Before Posting” betul-betul saya pegang.
Pada saat yang lain, saya ketik di Google nama depan email saya. Ajaib, keluarlah tulisan-tulisan saya di groups.yahoo.com.
Saya memiliki 4 email yang kesemuanya aktif. Dua email kena spam disebabkan karena ikut milis dan terpapar di website. Dari Google pula saya tahu, email saya disalahgunakan oleh situs tertentu untuk iklan lowongan kerja guru.
Saya pernah memberikan komentar di suatu website, ternyata saya terpilih sebagai komentar tamu. Rupanya website tersebut baru berdiri. Lama saya tidak berkunjung. Sampai akhirnya saya iseng mengetik nama depan email saya yang saya gunakan untuk menulis komentar sebagai kata kunci di Google. Lagi-lagi saya terkejut dibuatnya. Ada 2 tulisan saya muncul, 1 di website 1 lagi di blog. Yang membuat saya kaget, di website, email dan domisili saya ditulis salah. Saya langsung meluncur ke situsnya. Pertama, saya baca dulu komentar dari orang yang bernama sama dengan saya. Setelah yakin komentar tersebut asli dari saya, kemudian saya menulis di kotak saran mengenai kekeliruan tersebut. Email saya kini sudah ditulis dengan benar, tetapi domisili masih salah. Kemudian saya kirim email ke Redaksi website, namun sampai sekarang masih belum berubah. Tak apalah, mungkin sulit memperbaikinya. Berkat email yang terpapar di website, saya mendapat teman baru yang ternyata kawan dari pemilik domain website tsb.
Keajaiban Google yang lain yaitu ketika saya menanggapi tulisan opini yang dimuat di media cetak. Saya tanggapi melalui media yang sama. Baik tulisan opini maupun tanggapan dari saya muncul online di internet secara berurutan. Saya juga pernah menanggapi tulisan saya sendiri tetapi berbeda media. Tulisan saya di media cetak, saya tanggapi (lebih tepatnya saya perjelas) di media internet. Keduanya kemudian muncul online berurutan, padahal rentang waktunya cukup lama, lebih dari 4 bulan. Kesimpulannya, kata kunci (yang sama) bermain (tajam) di Google.
Demikian pula, ketika saya ingin tahu tentang "seseorang", yang saya anggap guru saya di dunia maya, karena berkat homepages dan tulisan-tulisan beliau saya jadi tertarik mengikuti jejaknya menulis di internet. Saya menyebutnya sebagai "Raja Situs", karena memang situsnya banyak sekali. Saya ketik di Google kata kunci nama lengkap atau nama depan emailnya, wah...betul-betul hebat. Saya menemukan homepages familinya. Saya jadi tahu asal-usulnya. Untuk "membacanya" sampai tuntas di telepon genggam (merk dan tipe telepon genggam tidak saya tulis), saya memerlukan waktu lebih dari 3 jam dan menghabiskan 184 laman web.
Masih banyak keajaiban-keajaiban Google yang lain, namun kalau saya ungkap semua, wah... bisa-bisa saya kehilangan privasi, saya takut dikejar Google.
Catatan : Awal April 2010 saya berkunjung ke situs yang memuat komentar saya. Ternyata domisili saya sudah diperbaiki.

Kamis, 19 November 2009

Urgensi Penulisan Autobiografi

Sekarang ini seolah menjadi tren selebritis membuat biografi. Kita mengenal ada biografi Krisdayanti : My Life, My Secret dan Seribu Satu KD, biografi raja sinetron Raam Punjabi, hingga penyanyi legendaris Chrisye. Pada umumnya biografi tentang selebritis terjual laris, walaupun harganya mahal dibandingkan biografi lainnya. Hal ini menunjukkan, penggemarnya sangat senang tokoh pujaannya menuangkan sisi-sisi pribadinya dalam bentuk buku.
Di samping biografi selebritis, kita juga mengenal biografi politik, negarawan, militer, agama, spiritual, dan karier. Biografi karier, sangat baik dijadikan sumber inspirasi dan motivasi bagi peserta didik untuk pengembangan diri. Contohnya, Jika Kamu ingin Menjadi Novelis seperti Stephen King: Pengarang novel “Thriller”, Jika Kamu ingin Menjadi Guru dan Penulis seperti Laura Ingalls Wilder (Penulis “Kisah Mengesankan Little House on the Prairie”), dan Jika Kamu ingin Menjadi Public Speaker seperti Oprah Winfrey.
Selain biografi kita mengenal kisah nyata (true story) atau memoar. Kisah nyata umumnya ditulis apa adanya sehingga menarik untuk dibaca. Contohnya, Three Cups of Tea, kisah nyata Greg Mortenson mendirikan sekolah satu demi satu di pekarangan belakang Taliban (www.threecupspftea.com). Leaving Microsoft to Change the World, kisah menakjubkan John Wood (mantan eksekutif di Microsoft) mendirikan 3600 perpustakaan di Asia (www.roomtoread.com). . Buku ini sangat inspiratif, karena telah mengubah dunia, dari dunia senyap menjadi penuh pengetahuan. Dalam buku ini, penulis menemukan kata “bersemangat” sebanyak 17 kali. Buku kisah nyata yang lain, yaitu Pertahankan Hidupmu Anakku, kisah mencekam tentang ladang-ladang pembantaian Kamboja, oleh Pin Yathay.



Di kalangan pendidik (guru) kita mengenal nama Torey Hayden. Beliau rajin menulis catatan pribadi murid-muridnya yang mengalami gangguan emosional. Torey Hayden kemudian menyadari, tulisannya layak diterbitkan menjadi buku. Buku-bukunya antara lain Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, Kevin: Belenggu Masa Lalu, dan Jadie: Tangis tanpa Suara. Buku-buku tersebut sangat menyentuh dan menguras air mata, serta menjadi bestseller. Selain Torey, penulis lain yaitu Tracy Kidder, pemenang Pulitzer Prize, dengan bukunya Kelas 205. Buku tersebut merupakan hasil pengamatan Kidder terhadap kehidupan di ruang kelas dan merupakan benang-benang emosional serta penuh perasaan tentang mengajar.
Penulisan autobiografi atau kisah nyata sangat baik diajarkan di sekolah, karena dapat melatih minat peserta didik untuk menulis, yang dimulai dari dirinya sendiri. Melalui autobiografi peserta didik diajak memahami dan menginstrospeksi diri. Hal tersebut merupakan salah satu cara bagi peserta didik untuk mengembangkan diri.
Guru dapat menggunakan autobiografi peserta didik sebagai sumber informasi untuk lebih mengenal dan memahami peserta didik. Dengan memahami peserta didik, diharapkan guru dapat memerankan dirinya sebagai fasilitator pembelajaran serta meningkatkan kemampuan guru dalam mendorong peserta didik untuk meningkatkan prestasi belajarnya.
Intinya dengan menulis atau membaca biografi seseorang maupun pribadi, baik guru maupun peserta didik diharapkan dapat meningkatkan pemahaman, instrospeksi, dan penilaian diri, sebagai bahan untuk mengembangkan diri secara menyeluruh baik intelegensia, emosional, maupun spiritual.

Senin, 16 November 2009

Pengaruh Tulisan

Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa terlepas dari pengaruh orang lain. Demikian juga saya. Saya selalu mengagumi apa yang sudah dicapai orang lain (kisah orang-orang yang saya anggap sukses), baik menyangkut buah pikiran maupun hasil karya.
Rubrik yang sering saya baca mengenai kisah orang-orang sukses yaitu ”SOSOK” yang dimuat secara rutin di media cetak KOMPAS (kecuali hari Minggu). Kebetulan saya member survey via sms PEMBACA KOMPAS. Yang sering ditanyakan dalam survey tersebut adalah seberapa besar (dalam skala nilai 1 s/d 10), tokoh SOSOK yang saya baca hari ini memberi inspirasi. Saya selalu memberi nilai 10, karena memang tokoh SOSOK yang ditampilkan bagi saya sangat luar biasa. Saya kagum dengan apa yang sudah dilakukannya, terutama karena manfaatnya yang sangat besar bagi orang lain.
Tokoh atau sosok selalu muncul dalam pelajaran sejarah. Dalam sejarah Indonesia kita mengenal sosok seperti Bung Karno dan Bung Hatta, Bung Tomo, dan baru-baru ini tokoh yang diangkat sebagai pahlawan yaitu Ahmad Subardjo (Menteri Luar Negeri periode 1945-1952). Dalam sejarah dunia, kita mengenal sosok Gandhi, Jawaharlal Nehru, Kemal Attatturk. Sosok yang dianggap sebagai pendiri bangsa, pembela kebenaran melawan penjajahan. Sayang, sosok-sosok dalam pelajaran sejarah ini, kepahlawanannya tidak bisa lagi menjiwai generasi muda saat ini. Generasi muda sekarang bisa membaca tulisan di KOMPAS cetak tentang Tokoh Muda Inspiratif (rubrik Politik & Hukum) yang ditulis secara bersambung.


eddymesakh.wordpress.com/.../


Ada pun pengaruh tulisan terhadap saya, saya sering ”larut” bahkan ”masuk” ke dalam tulisan orang yang saya kagumi. Di mata saya, ”tulisan” orang tsb. begitu ”hidup”, sampai menguasai pikiran. Demikian besar pengaruh ”tulisan” sampai saya tergerak melakukan hal yang sama.
Selain tulisan yang memberikan pengaruh, ada juga tulisan yang tidak memberikan pengaruh bagi pembacanya. Begitu selesai dibaca, maka menguaplah apa yang sudah dibaca, tidak meninggalkan bekas apapun. Contohnya, tulisan saya yang dimuat di rubrik Surat Pembaca pada salah satu media cetak terbitan nasional tidak direspons. Rupanya tulisan saya dianggap tidak penting oleh instansi terkait.
Pada akhirnya, pengaruh tulisan tergantung kepada pribadi masing-masing, seberapa besar menghayatinya. Bryan Magee mengatakan dalam bukunya "Confessions of a Philosopher", "Bahkan, kata-kata kosong makna menjadi pola keseharian di seluruh media massa, termasuk dalam media pers yang disebut sebagai pers bermutu". Menurut pendapat saya, setiap lembaga negara pemerintah wajib menjawab surat rakyat yang minta penjelasan, minimal melalui humasnya. Untuk pejabat yang mengabaikan surat rakyat, bagaimana hukumnya?


Teori Belajar Usang

“Teori belajar yang kita gunakan sudah usang. Teori belajar yang baru mengatakan, setiap anak itu mampu asal diberi perlakuan yang cukup. Dengan teori tersebut, seharusnya dalam mendidik siswa, guru benar-benar memperhatikan dan mendalami setiap kekurangan serta kelebihan siswa. Di Indonesia, dengan keterbatasan tenaga guru saat ini, memaksa mereka harus mengajar 24 jam per minggu (untuk memperoleh tunjangan profesi) dengan kuota kelas 40 siswa. Waktu ajar yang demikian panjang, menjadikan guru tidak lagi segar saat harus berinteraksi dengan para siswa sehingga berpengaruh kepada kualitas ajarnya” (Said Hamid Hasan, UPI, Pikiran Rakyat, 12/11-2009).
Kutipan tersebut memperkuat tulisan saya sebelumnya ”Jam Kerja Guru”, bahwa bagaimana pun kemampuan guru terbatas. Sebaiknya pejabat yang mewajibkan guru mengajar 24 jam tatap muka per minggu terjun langsung ke lapangan (sekolah), merasakan (berempati) dengan kehidupan keseharian guru. Rasakan bagaimana mengajar jumlah kelas banyak, dengan jumlah siswa yang demikian banyak, ditambah sebagian siswa tidak punya buku pegangan (buku paket). Dengan adanya larangan jual buku/LKS (Lembar Kerja Siswa) di sekolah, sebagian siswa keberatan (enggan) beli buku paket di luar sekolah, karena harganya cukup mahal atau siswa sendiri malas/enggan membeli buku. Sedangkan di perpustakaan, ketersediaan buku paket minim.
Dengan jam mengajar yang padat, ditambah jumlah kelas dan siswa yang banyak, sulit bagi guru untuk mengembangkan diri, karena waktunya tersita untuk pembuatan administrasi sekolah, pemeriksaan tugas-tugas siswa, ulangan/remedial dan sebagainya.
Sekretaris FGII (Federasi Guru Independen Indonesia), Iwan Hermawan mengakui, mengajar 24 jam seminggu menyebabkan guru tidak bisa memberikan pelayanan secara individu kepada siswa (Pikiran Rakyat, 12/11-2009).

Sabtu, 07 November 2009

Jam Kerja Guru

Pemerintah melalui Permendiknas No.39/2009 menetapkan, bahwa jam kerja guru 24 jam/minggu. Perlu diketahui, tiap mata pelajaran mempunyai bobot jam yang berbeda. Seperti pelajaran Sejarah untuk kelas X, bobot jam pelajaran hanya 1 jam/minggu, kelas XI IPA 2 jam pelajaran/minggu atau ada juga yang 1 jam pelajaran/minggu (KTSP), kelas XI IPS 3 jam pelajaran/minggu dan kelas XII IPA 1 jam pelajaran/minggu, sedangkan kelas XII IPS 3 jam pelajaran/minggu. Saya mengajar di kelas XI IPS dua kelas, kelas XII IPA enam kelas, dan kelas XII IPS dua kelas. Total jam mengajar saya 18 jam pelajaran/minggu dengan jumlah kelas 10 kelas@40 siswa = 400 siswa, ditambah jabatan lain sebagai staf kurikulum bidang perpustakaan yang dihitung setara 6 jam. Yang saya permasalahkan adalah, begitu banyak kelas dan jumlah siswa yang saya tangani sehingga ketika musim ulangan/remedial saya merasa keteteran. Bandingkan dengan guru mata pelajaran Matematika/Bahasa Indonesia dengan bobot jam pelajaran/minggu 4 jam. Dengan jumlah jam mengajar 24 jam, guru ybs hanya memegang enam kelas. Bagaimana dengan guru Sejarah kalau mengejar target wajib mengajar 24 jam/minggu? Pasti akan sangat kelelahan dengan bertambahnya jumlah kelas dan siswa yang harus ditangani. Seharusnya pemerintah memperhatikan masalah ini, terutama ditinjau dari kondisi fisik dan psikologis guru.