Kamis, 10 Desember 2009

TBC Tulang (I)

Penyakit TBC tulang yang menyerang saya berawal dari rasa sakit di punggung, sekitar pertengahan Juli 2009. Saya mengira hanya pegal biasa. Karena lebih dari seminggu tidak sembuh juga, Sabtu (25/7-2009) saya ke dokter (umum). Oleh dokter saya diberi resep obat Plantacid Forte (obat mual/kembung) tidak saya minum, Ostelox 15 mg (obat pegel/nyeri) hanya beberapa kali saya makan dan Alganax-o,5 Alprazolam 0,5 mg (tidak saya makan sama sekali).
Punggung saya rasanya tebal. Saking sakitnya, untuk bangun tidur pun sulit, harus dalam posisi miring. Kondisi ini berlangsung sebulan, tapi saya biarkan. Mungkin karena kesibukan pekerjaan. Bahkan saya sempat menyetir mobil yang jaraknya jauh sekali ke luar kota Bandung (kabupaten), menghadiri seminar pendidikan internasional (2 Agustus 2009). Saya juga sempat ke Nganjuk naik kereta api Argo Willis menengok famili yang hampir 20 tahun tidak bertemu. Pulangnya mampir ke Madiun dan menginap semalam, karena di stasiun Nganjuk kehabisan tiket. Setelah satu bulan, sakit punggung berangsur menghilang. Kemudian memasuki bulan puasa, punggung sudah tidak terasa sakit lagi. Menjelang bulan puasa berakhir, tiba-tiba leher di sebelah kiri terasa sakit/pegal. Untuk menengok ke kiri pun sulit. Sehingga kalau menyetir mobil, saya hanya bisa lurus ke depan. Kalau mobil mundur ke luar garasi, satu-satunya yang bisa saya andalkan hanya kaca spion di atas kepala saya. Dalam kondisi seperti ini, saya masih bisa menyetir mobil sampai keluar kota Bandung (Cimahi) mengunjungi sahabat lama melewati jalan tol. Oleh sahabat saya disarankan leher kiri saya yang sakit digosok pakai obat gosok. Akan tetapi saran ini tidak saya ikuti. Rekan-rekan saya di sekolah mengira posisi tidur kepala saya salah, sehingga menyebabkan otot terjepit. Beberapa rekan menyarankan, supaya leher yang sakit dipukul dengan bantal yang sudah dijemur. Yang lain menyarankan supaya saya dipijat therapy. Saya sempat menjalankan saran yang terakhir ini. Untung baru satu kali dipijat. Saya baru tahu kemudian, pijatan ternyata sangat berbahaya, karena justru menyebabkan kuman TBC menyebar.
Sakit di leher kiri menyebabkan saya tidak bisa menghadiri acara silaturahmi halal bihalal yang diadakan sekolah. Namun saya masih sempat mengajar lebih kurang 2 minggu, dan mengontrol kinerja perpustakaan. Karena leher kiri saya tidak sembuh juga, akhirnya saya periksakan ke dokter (umum), tetapi hanya diberi obat pelemas otot dan obat pegal. Kemudian saya dirujuk supaya tulang saya dirontgen. Hasil x-ray photo CERVIVAL LATERAL: corpora vertebralis, disci dan pedicle baik, curve lurus, alignment normal, tidak tampak kalsifikasi jaringan lunak. Kesan: curve vertebrae cervicalis lurus ec/spasme otot?
Rasa sakit di leher kiri saya mencapai puncaknya setelah 2 minggu hari Raya Idul Fitri. Kepala saya seperti ditusuk-tusuk. Karena tidak kuat menahan rasa sakit, saya berteriak-teriak menangis kesakitan, tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana untuk meredakan rasa sakit ini. Saya kompres dengan handuk hangat, di tempel di leher kiri tetapi tetap tidak menolong. Karena kelelahan menangis dan menahan rasa sakit, saya ke tempat tidur dan merebahkan kepala saya tanpa bantal. Rasa sakit mulai berkurang. Keesokan hari, pagi-pagi, saya bangun pelan-pelan sambil leher kiri terus ditekan. Siangnya, saya tidur siang. Agak lama saya tertidur, sore hari saya bangun. Saya langsung menjerit-jerit kesakitan. Gerak refleks saat bangun menimbulkan kesakitan yang luar biasa, bahkan lebih parah. Sama dengan kemarin, tak ada seorang pun yang bisa menolong mengurangi rasa sakit. Saya panik, tidak tahu harus bagaimana dengan rasa sakit ini. Leher kiri dikompres air hangat, tetap tidak mengurangi rasa sakit. Saya kemudian ke tempat tidur, rebah, seperti kemarin, tanpa bantal. Akhirnya saya menemukan rasa nyaman, tidak merasakan sakit lagi. Anehnya, dalam kondisi seperti ini yang terpikirkan justru tulisan-tulisan saya di salah satu website. Sehingga secara refleks saya sms pada seseorang, bahwa saya tidak sanggup lagi menulis. Belakangan saya terus memikirkan "peristiwa sms" tersebut.
Keesokan harinya, saya tidak mau beranjak dari tempat tidur. Saya sangat trauma dengan rasa ”sakit”. Esoknya, dengan diantar suami, saya ke dokter spesialis syaraf di rumah sakit swasta di Bandung. Setelah melihat hasil rontgen tulang hasil rujukan dari dokter umum, beliau mengatakan tulang punggung saya sedikit osteoporosis tetapi tidak ada hubungannya dengan sakit di leher. Lebih baik difisioterapi dulu setiap 2 hari sekali. Saya diberi obat Arxocia 60 mg tab. yang diminum 2 x1 tablet. Selama difisioterapi, saya tidak kuat duduk, sehingga harus tiduran dalam posisi miring ke kiri menekan leher yang sakit. Tiga kali dilakukan fisioterapi tidak ada perubahan. Oleh saudara kembar saya yang dokter, saya disarankan pindah ke dokter spesialis syaraf yang lebih senior dan agar dilakukan tindakan MRI. Saudara kembar saya kemudian memberi saya resep obat Celebrex 200 mg.
Akhirnya saya pindah ke dokter spesialis syaraf yang lebih senior. Setelah memeriksa leher kiri saya dan mendengar segala keluhan sakit saya, saya diberi resep obat analgetik Lyrica (1x1 minum) dan surat rujukan MRI. Usai pemeriksaan MRI, saya kembali ke dokter spesialis syaraf dan memperlihatkan hasil MRI. Setelah dilihat, hasil MRI menunjukkan ada kelainan tulang punggung. Malam itu juga saya dirujuk ke dokter spesialis tulang. Menurut dokter, tulang punggung saya terkena TBC dan harus diopname.
Selama melakukan kontrol ke dokter dan menjalani pemeriksaan MRI, merupakan siksaan bagi saya. Saya tidak kuat berdiri lama. Kalau berdiri lama, seperti ada yang menyerang kepala saya. Saya selalu ingin rebah, sehingga kemana-mana saya membawa bantal. Di mobil rebah, di ruang tunggu rebah, sambil leher kiri terus ditekan. Posisi rebah membuat saya nyaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar