Rabu, 15 September 2010

Gratifikasi & Sertifikasi

Pengalaman saya selama beberapa kali dirawat (opname) di salah satu rumah sakit swasta bonafide di Bandung, saya pernah menemukan tulisan di meja pasien. Isinya berupa larangan memberikan bingkisan kepada perawat. Pada mulanya saya tidak memahami maksudnya, bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa memberi kok dilarang? Bukankah memberi itu baik dan mulia? Bahkan dalam setiap agama, kita dianjurkan untuk berbuat baik kepada orang lain, diantaranya dengan saling memberi. Namun akhirnya saya mengerti, rupanya larangan tersebut berkaitan dengan profesionalitas perawat. Dikhawatirkan, pemberian bingkisan itu akan memengaruhi perawat dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Artinya, pasien yang memberikan bingkisan akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik daripada pasien yang tidak memberikan apa-apa.

Pengalaman lain yaitu ketika saya masih kuliah. Pada waktu saya akan maju ujian sidang sarjana, saya diperingatkan oleh seseorang jangan coba-coba memberi hadiah kepada dosen pembimbing, kalau tidak ingin nilai ujian jatuh. Saya taati betul nasehat tersebut, dan hasilnya nilai ujian sidang tertinggi justru saya peroleh dari dosen pembimbing (sekarang sudah professor, dan pendapatnya sering dikutip media massa).

Dosen mata kuliah yang lain bercerita, ada mahasiswa datang ke rumahnya malam hari dengan membawa oleh-oleh tahu Sumedang . Oleh beliau, mahasiswa tersebut dipersilakan menyimpan tahu Sumedang di luar (mungkin di teras-penulis), dan setelah bertamu dipersilakan tahu Sumedang dibawa pulang lagi.

Di beberapa Sekolah Dasar, terutama di kota besar, pemberian hadiah kepada guru (terutama kepada wali kelas) menjelang akhir tahun ajaran baru (pembagian raport) seolah menjadi keharusan. Penghimpun dananya dikoordinir para ibu rumah tangga yang selalu setia menunggui putra-puterinya selama bersekolah.

Sebetulnya ada aturan tentang larangan pemberian hadiah, atau sesuatu pemberian berupa apa pun dari siapa pun yang diketahui atau patut diduga bahwa pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan PNS, tercantum dalam PP No. 30/1980 Bab II pasal 3 ayat (1) butir h, dan UU No. 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang definisi dan bentuk gratifikasi.

Mengingat budaya di Indonesia yang senang memberi hadiah, semoga pengalaman di atas dapat dijadikan bahan renungan, baik bagi para orangtua peserta didik maupun bagi para guru (khususnya PNS) terutama yang sudah lolos uji sertifikasi dan menerima tunjangan profesi. Dan semoga pula pemberian tersebut tidak dimaksudkan untuk memengaruhi guru agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya atau tugasnya, sehingga hadiah tersebut tidak dikategorikan sebagai gratifikasi (suap).

Selasa, 07 September 2010

Pendidikan Karakter dan AntiKorupsi

“Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus, karena tidak diajar filsafat atau logika"
(Sajak Anak Muda, WS Rendra)

Salah satu bait puisi dari penyair terkenal di atas sengaja saya kutip untuk menyambut pendidikan karakter dan antikorupsi yang akan diterapkan pada tahun ajaran yang akan datang (Juli 2011). Syaratnya (seperti yang dikatakan Mendiknas Moh. Nuh) di sekolah itu sudah terbangun kultur sekolah dan budaya antikorupsi. Yang menjadi pertanyaan : apa itu kultur sekolah? dan apa yang dimaksud dengan budaya antikorupsi?. Kalau kedua pertanyaan di atas sudah bisa dipahami dan dimaknai dengan pas oleh segenap unsur pendidikan (komite sekolah, kepala sekolah, guru, TU, karyawan), Insya Allah pendidikan karakter dan antikorupsi dapat berjalan lancar tanpa hambatan. Dengan catatan, guru yang mengajarkan pendidikan anti korupsi harus mempunyai standar moral yang tinggi dan idealis.