Kamis, 21 Oktober 2010

Guru Kritis, Siapa Berani?

Sebanyak 12 guru RSBI dimutasi ke SMA/SMK di pinggiran Kabupaten Purwakarta, terkait dugaan tuntutan mereka soal transparansi pengelolaan keuangan sekolah. Menurut Kordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan, mutasi menjadi salah satu bentuk pembungkaman terhadap guru kritis. Kasus serupa masih banyak terjadi dan menjadi preseden buruk bagi pendidikan antikorupsi (Kompas Jabar, 21 Oktober 2010).

Sebenarnya, guru selaku PNS diberi kewenangan secara hukum melaporkan dugaan tindak pidana korupsi sesuai pasal 2 butir 1 PP No.30 Tahun 1980 tentang disiplin PNS. Namun faktanya, guru kritis akhirnya menjadi pecundang, karena khawatir kalau terlalu kritis akan diintimidasi seperti kasus 12 guru di atas.

Berikut, pendapat H. Moch. Said Sediohadi tentang guru kritis (Pikiran Rakyat, 1/11-2004), "Seorang guru yang kritis harus memiliki landasan teoritis dan yuridis yang kuat sehingga sikap kritis tidak diartikan fitnah atau mengobok-obok kebijakan kepala sekolah atau pemerintah. Sikap kritis adalah mengajukan beberapa alternatif solusi untuk memperbaiki suatu kebijakan yang dianggap tidak benar".

Untuk menjadi guru kritis, siapa berani? harus siap menanggung resikonya.

Kamis, 07 Oktober 2010

Ratapan Palestina

“Satu keluarga Palestina meratapi rumahnya yang rata dengan tanah setelah dihancurkan tentara Israel di desa Abu al-Arqan di sebelah barat kota Hebron Tepi Barat, beberapa pekan lalu. Lima pemukim Israel diduga membakar masjid di Beit Fajjar Tepi Barat, di mana aksi semacam itu bukan yang pertama kalinya dilakukan oleh pemukim Yahudi, Senin (4/10)” - Pikiran Rakyat (5/10-2010).

Ketika membaca kutipan berita di atas, saya jadi teringat puisi yang saya tulis pada 13 Juni 1980 “Exodus”

Tiada tahan, mengembara ke alam lepas
Asal ada bulan di langit
Dan hutan tempat menetap
Bumi pun mulai berasap
Retak
Tak ada tempat buat berpijak
Maka gantungkan segala angan-angan
Pada gelagak lautan
Pandangi buih-buihnya
Saat di balik dunia orang-orang tengah berputus-asa
Pergi meninggalkan negerinya
Pergi meninggalkan malapetaka
Bangsa penuh derita
terus bergumul dengan batinnya
bergumul dengan kemerdekaan negerinya

Kutipan berita di atas juga mengingatkan saya pada buku karangan Arthur G. Gish “Hebron Journal” (penerbit Mizan, Juli 2008), yang mengisahkan pengalaman pengarang – seorang aktivis perdamaian – dari Amerika yang dengan teguh melawan kekejaman Israel di Palestina dengan jalan cinta dan anti kekerasan. Komitmennya dalam membela rakyat Palestina diperlihatkan ketika ia dengan berani menghadang tank dan buldoser yang akan meratakan rumah dan pasar milik rakyat Palestina.
Sebuah rumah di atas tanah milik sendiri, adalah bagaikan istana jiwa dan raga bagi pemiliknya. Mengapa ada sebagian orang-orang Israel – dari buku tersebut saya menjadi tahu tidak semua orang Israel kejam, bahkan ada yang bersimpati dengan membantu dana membangun rumahnya kembali- begitu tega menghancurkan rumah??? Zionis – ultranasionalis, barangkali itulah jawaban singkatnya.