Rabu, 28 April 2010

Peranan Ayah Tentukan Calon Suami Puterinya


Jarang wanita menyadari, sebagian besar yang ikut memengaruhi dalam proses memilih calon suami adalah gambaran wanita mengenai ayahnya. Semakin positif hubungan wanita dengan ayahnya, diharapkan proses hubungan dengan calon suami akan lancar. Kebenaran pernyataan ini didukung hasil penelitian Dr. William S. Appleton, Md., seorang psikiater dari West Coast, Amerika Serikat. Beliau menggunakan sampel 81 orang wanita, rata-rata berumur 30 tahun. Usia yang dianggapnya dapat dikendalikan untuk membahas masalah ini. Bagi wanita, ayah merupakan laki-laki pertama dalam hidupnya, di mana ia dapat berhubungan. Hubungan pria-wanita ini akan memengaruhi jalan hidupnya kelak, karena itu diperlukan gambaran lengkap tentang ”ayah”. Menurut teori analisis jiwa, tiap individu akan berubah menurut tingkat kedewasaannya. Demikian pula hubungan ayah dengan puterinya, diumpakan sebagai dua lingkaran kehidupan, kadang-kadang saling bertaut, kadang-kadang saling bertentangan. Seorang gadis kecil melihat ayah dari satu sudut, gadis remaja dari sudut lain, demikian pula gadis dewasa akan melihat ayahnya dari sudut yang berbeda. Umumnya seorang wanita baru memahami hubungan dengan ayahnya saat usia 30 tahun, di mana usia ayah sekitar 60 tahun.
Pola hubungan ayah-puterinya beraneka ragam. Ada ayah yang selalu ingin memonopoli puterinya, ada yang acuh tak acuh, ada juga yang demokratis. Pola hubungan ini akan memberikan efek psikologis pada wanita dalam membina hubungan dengan calon suaminya. Menurut Dr. William, ada dua pola yang selalu timbul dalam diri wanita sewaktu berhubungan dengan laki-laki. Wanita akan tertarik pada laki-laki yang mirip ayahnya, baik dalam hal latar belakang kehidupan maupun watak. Demikian pula sebaliknya. Kedua pola ini tidak dapat diramalkan untung ruginya.
Wanita sebaiknya memiliki perasaan sayang terhadap ayahnya, bagaimana pun sifat ayah, karena hal ini dapat membantu wanita dalam bergaul dengan laki-laki. Wanita yang telah menganalisa hubungan dengan ayahnya akan mempunyai kepribadian yang sehat dan seimbang, sehingga tidak akan mengalami kesukaran dalam memilih calon suami (Sumber : Fathers and Daughters, Dr. William S. Appleton, MD., 1985)

Rabu, 14 April 2010

Sebuah Puisi Untuk Tuhan


Beri aku cawan kasih dari pulir batinMu
kan kureguk dengan kehausan seorang bayi
yang mencari puting susu ibunya

Beri aku kasih sayang ibu, biar kukoyak
duka ini dengan rindu, dengan budi atau
secangkir kebahagiaan, kan kutuang dalam puisi
kabung abadi
namun itu tidak terjadi
kesepian merobek kelam, lalu membunuhnya
dengan sejuta rindu dan pengharapan
dengan sejuta kasih dan penantian
kucari pelita itu
menyusuri kembang mimpi
lantas mengecupnya hingga tergeletak dalam sunyi

Tuhan, jangan biarkan aku mati terkapar sendiri
ingin kutelan dulu firman-firmanMu yang suci
walau kegelapan dan kemunafikan selalu bersembunyi
bias kasihMu yang abadi pada batinku sepanjang hari
bila ada dosa tercecer antara ruang dan waktu
maka Tuhan maafkan dosaku yang terantuk batu
maafkan dosa Ibu bila lupa memberi susu.


Puisi tersebut saya tulis pada 13 Juni 1980, saat saya masih remaja, di mana kerinduan terhadap Ibu dalam pengertian psikologis sangat memuncak. Kini saya adalah seorang Ibu. Bercermin dari masa lalu, saya curahkan segenap perhatian dan kasih sayang pada anak-anak yang saya lahirkan. Saya susui dengan ASI, hingga tidak lagi menetes. Saya sekolahkan di sekolah agama terbaik. Saya sempatkan menunggui anak sekolah sambil membaca buku. Saya leskan aritmatika, bahasa Inggris, renang dan robotics. Saya belikan buku-buku supaya minat bacanya tumbuh. Saya didik mereka dengan akhlak yang baik. Dan masih banyak hal lain.... Namun, seperti kata penyair Kahlil Gibran (Sang Nabi) :

”Anakmu bukan milikmu.
Mereka putera-puteri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu”

Anak-anak saya kini telah berangkat remaja, tumbuh dengan kecerdasan yang tak pernah saya miliki. Mereka adalah generasi digital, jauh melesat seperti anak panah.

”Jiwa mereka adalah penghuni masa depan,
yang tak dapat kukunjungi, sekalipun dalam impian”

(Kahlil Gibran, Sang Nabi, dengan sedikit perubahan)

Selasa, 13 April 2010

Peranan Ibu Tentukan Pribadi Anak


”Masa depan anak adalah hasil kerja ibunya”
(Napoleon Bonaparte, Jenderal Perancis, 1769-1821)

”Seorang anak yang dididik hanya di sekolah adalah anak yang tidak terdidik”
(George Santayana, penyair dan filsuf dari Spanyol, 1863-1952)

Pendidikan merupakan tanggungjawab bersama : orangtua (keluarga), masyarakat, guru, dan pemerintah. Namun tak dapat disangkal, tanggungjawab keluarga, khususnya peranan seorang Ibu lebih dominan dalam kehidupan anak. Dikalangan ahli pendidik ada kesepakatan, proses pendidikan dimulai sejak bayi dalam kandungan. Namun proses pendidikan yang lebih urgen dan konkrit diawali sejak anak lahir ke dunia, di sini tugas Ibu menanti. Dimulai dari menyusui, mengajak bicara, kebiasaan akan kebersihan, cara berhubungan/bergaul dengan orang lain. Kelihatannya sederhana, namun pada hakekatnya semua itu dalam rangka proses pendidikan. Sebagai konsekwensinya, maka Ibulah yang sebenarnya paling tahu, paling pantas dan paling bertanggungjawab akan pendidikan anaknya, yang harus mengenal potensi anak untuk kemudian dibina, digali dan dikembangkan. Disebabkan Ibulah yang paling lama mengenal anak itu, bukan gurunya di sekolah atau orang lain. Jadi wajar jika Ibulah yang paling berkompeten dalam pendidikan anak-anaknya. Seorang wanita berketurunan yang sibuk atau tidak mempunyai naluri keibuan, tidak akan lekas-lekas menyadari perkembangan pribadi anaknya. Ia menjadi kurang peka/tanggap, karena kehidupan sehari-harinya hanya terfokus kepada diri dan pekerjaannya. Seorang Ibu yang tenggelam dalam karir dan mementingkan dirinya, kehidupan psikologis anaknya akan terabaikan. Sehingga wajar jika anak kemudian mencari kehidupan di luar rumah, yang jika tidak hati-hati dalam bergaul akan tergelincir pada kenakalan remaja.
Seorang Ibu yang baik tidak akan memanjakan anaknya dengan selalu melindunginya, tetapi mengajarinya bahwa hidup ini adalah perjuangan. Dalam menghadapi persaingan hidup, seorang Ibu tidak akan mengajari anaknya mengambil jalan pintas (nepotisme), korupsi atau kolusi. Maka, sudah menjadi kewajiban seorang Ibu mengajari anak-anaknya tentang nilai-nilai kehidupan : ulet, tahan uji, berilmu pengetahuan dan berakhlak mulia. Nilai-nilai kehidupan ini tidak hanya sekedar retorika, tetapi diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Seorang Ibu yang berbudi pekerti baik akan menjadi teladan bagi anak-anaknya. Hal ini menjadi dasar bagi keagungan bangsa.

Jumat, 09 April 2010

Aku Rindu Kamarku


Dalam kembara jauh bermil
Aku selalu rindu kamarku
jendela-jendela
lemari
meja
buku-buku
tempat tidur
foto pribadi
surat-surat asmara
lampu neon
sepatu butut
selimut
Segala hal dalam kamarku
jadi kerinduanku

Dalam kembara jauh bermil
Aku selalu ingin kembali
kekandangku
mendendangkan lagu
mendekap rindu
bersekutu dengan bisu
kompromi dengan masa lalu
mencipta puisi-puisi lugu

Dalam kembara jauh bermil
Aku amat mendamba
suasana kamarku.

Puisi tersebut saya ciptakan pada 10 Februari 1983. Pada waktu saya menjabat asisten dosen di Institut Keguruan swasta di kota tahu Kediri sekitar tahun 1987-1988, saya selalu teringat puisi tersebut, terutama saat sendirian di rumah kontrakan. Pikiran saya selalu menerawang, teringat kamar saya di Bandung, di rumah orangtua. Sebagai seorang yang baru lulus sarjana pendidikan dengan pengalaman mengajar yang masih minim, saya merasakan beban kerja terlalu berat. Bayangkan, di awal semester (tahun ajaran 1987/1988), saya mengajar 4 mata kuliah (Sejarah Asia Selatan, Pengantar Ilmu Sejarah, Sejarah Pendidikan Indonesia dan Teori & Filsafat Sejarah). Pada semester genap, saya mengajar mata kuliah Sejarah Asia Selatan II, Perencanaan Pengajaran Bidang Studi, Sejarah Pendidikan Indonesia dan Sejarah Asia Tenggara II. Saya masih ingat, ada beberapa mahasiswa usianya lebih tua dari saya dan mempunyai banyak pengalaman mengajar.
Selain mengajar, saya juga menjadi pembimbing mahasiswa (angkatan tahun 1984) menyusun makalah dan seminar serta simulasi mengajar (tahun ajaran 1986/1987 semester VI dan tahun 1988), pembimbing 10 mahasiswa KKL (Kuliah Kerja Lapangan) - 6 s/d 9 Agustus 1987, panitia/koordinator ujian negara, koordinator ujian praktek mengajar, dan menjabat sebagai pembantu sekretaris jurusan dengan jam kerja pk.08.00-12.00 dan pk.16.00-20.00. Kesibukan yang sangat padat di usia muda ini membuat saya stres dan seperti matang karena dikarbit. Di sela-sela waktu, saya menyempatkan diri jalan-jalan sendirian naik bis ke Surabaya, yang suhu udaranya waktu itu sudah panas, sehingga saya kegerahan, menengok paman (dosen) yang sakit diabetes. Di tengah rasa kesendirian, saya menumpang di rumah famili di Nganjuk (Ngrengket), sehingga untuk berangkat mengajar saya terpaksa menempuh perjalanan lebih kurang 60 km, dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Pulang mengajar sekitar jam 10 malam naik bis sendirian, padahal waktu itu Kediri terkenal rawan tindakan kriminal.
Lebih kurang setahun di Kediri, membuat kerinduan akan "kamarku" memuncak. Pernah dalam seminggu saya 2 kali pulang pergi naik kereta api Nganjuk-Bandung. Kalau sibuk begini terus, kapan ya saya mendapat pacar. Akhirnya, dengan adanya SK pengangkatan sebagai guru cpns SMA, saya comeback ke kota kelahiran saya, Bandung, menuju "kamarku".