Selasa, 18 Mei 2010

Kagum Kepada Para Pemikir

Satu lagi pemikir yang saya kagumi selain Kierkegaard, adalah Bryan Magee. Bukunya “Confessions of a Philosopher: A Journey Through Western” saya baca berulang-ulang. Saya merasa ada beberapa persamaan dengan beliau. Pertama, beliau dulu kuliah di jurusan Sejarah dan masuk jurusan ini karena telah mendapat beasiswa. Saya kuliah di jurusan pendidikan Sejarah, dan berkat prestasi akademis yang saya peroleh, saya mendapat beasiswa. Bryan Magee menghabiskan masa tiga tahun pertamanya di Oxford dengan belajar sejarah, yang sebenarnya bertentangan dengan kehendaknya. Saya masuk jurusan pendidikan Sejarah, karena setelah menamatkan SMA jurusan IPA masih bingung hendak melanjutkan ke mana. Saya mengikuti teman yang katanya akan masuk jurusan ini, namun ternyata teman saya memilih jurusan Bahasa Indonesia. Bryan Magee, selain menyukai musik juga menyukai puisi dan pembaca koran yang serius. Selesai membaca tulisan orang, beliau segera membaca buku yang mereka ulas. Saya juga menyukai puisi dan pembaca setia koran, bahkan artikel yang saya anggap penting saya kliping. Dulu saya sering membaca resensi buku di koran, kalau bagus saya beli. Saya sependapat dengan Bryan Magee, dengan cara ini mendapatkan pengetahuan yang tidak didapatkan dari bangku sekolah.
Waktu kuliah, saya merasakan pandangan yang sama dengan Bryan Magee. “Dunia akademis terasa sempit, dangkal dan terbatas, dunia tanpa warna dan tanpa bobot, dunia yang tak ada hubungannya dengan dunia nyata”. Nyaris saya menyesal masuk jurusan kering ini, tetapi waktu itu tidak terpikir untuk pindah jurusan. Pernah nyambi kuliah sekretaris selama satu semester, tetapi tidak dilanjutkan. Akhirnya saya menjalani kuliah sampai tamat seperti air mengalir. Di lain pihak saya bangga dengan nilai-nilai terbaik yang saya peroleh, namun setelah itu saya merasa “hampa”. Pengalaman inilah yang membuat saya tidak ingin mengabdi sebagai dosen di almamater, padahal waktu itu saya calon satu-satunya.
Melalui bukunya, Bryan Magee mengajak pembaca berkenalan dan memahami buah pikiran dari para pemikir, diantaranya : G.E Moore, David Hume, Immanuel Kant, Karl Popper, Bertrand Russell, John Stuart Mill, Plato, Friedrich Nietzsche, Leo Tolstoy, Renee Descartes, Arthur Schopenhauer dan Martin Heidegger.
Bagi saya buku ini luar biasa. Saya kagum dengan cara berpikirnya yang sangat kritis. Lebih kagum lagi, karena ditulis dengan gaya autobiografi.

Kamis, 06 Mei 2010

Ketika Pertama Kukenal Dirimu

Angin semilir masuk jendela bus kota
Matahari menyengat wajahku
Kebisuan mendekam lamunanku
Mengapa sunyi tak mau jua pecah?
Ketika aku semakin rindu kata-kata

Dari halte ke halte
Dari mata ke mata
Dari hati ke hati
Dari bibir ke bibir
”kenalan yuk!”

pelan-pelan sinar matahari tumpah
di wajahmu
di wajahku
pipimu merah
pipiku merah
ah!


Ketika saya membaca rubrik TUNGGU DULU (Pikiran Rakyat, 6 Mei 2010, AFP), "cinta pada pandangan pertama bisa terjadi di mana saja, termasuk di dalam bus", saya jadi teringat puisi di atas, yang saya tulis pada 8 Juni 1983 dan dimuat di HU Bandung Pos (Pesta Puisi). Alkisah, satu perusahaan bus di Kopenhagen Denmark, menyediakan tempat duduk khusus pada 103 unit busnya dengan nama ”kursi cinta”. Tempat duduk tersebut berwarna merah sebagai tanda untuk mencari jodoh, disamping untuk memotivasi pemilik kendaraan pribadi supaya tidak menggunakan mobilnya guna menghindari kemacetan. Kalau tidak macet dan berdesak-desakan, naik bus kota memang mengasyikkan, ditambah udara sejuk dan pepohonan yang masih rindang. Namun saat ini dengan bertambahnya jumlah penduduk dan udara siang hari yang sangat panas, naik bus kota kadang tidak nyaman, karena harus berdesak-desakkan. Sebagian penumpang harus berdiri karena tidak mendapat kursi tempat duduk. Itulah gambaran bus kota di berbagai kota besar di Indonesia, boro-boro ada ”kursi cinta”.

Senin, 03 Mei 2010

Menjadi Diri Sendiri


Dalam hasratku
akulah musuhku
bersitatap dalam dekap
kubawa bertempur

aku datang dalam langkah kekal
melalui pikiranku
hampa, meski kutahan dan
kubawa mabuk
kuasing diriku
kutinju bicaraku, agar
tak sampai gila
kurasa di luar diriku ada batu
ada api
lantas kuturuni jurang


Puisi tersebut saya tulis pada 11 September 1985, dimuat di HU Bandung Pos dalam rubrik Pesta Puisi. Ketika saya membaca tulisan Kierkegaard ”Pergulatan Menjadi Diri Sendiri”, saya merasakan jiwa muda saya dulu memiliki kesamaan dengan filsuf kelahiran Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 ini. Pergulatan jiwa yang resah, bosan, hampa, melankolis, mudah berdebat, perasaan yang sangat peka, suka menulis di buku catatan harian dan media cetak. Bedanya, Kierkegaard seorang filsuf besar dan pemikir penting, yang buah pikirannya abadi sampai saat ini. Sedangkan saya hanya penulis biasa dengan tulisan yang biasa-biasa saja.
Pemikiran Kierkegaard diantaranya ”I choose, therefore, I exist”, baru saya kenali dan pahami sekarang ini. Namun aktualisasinya sebetulnya sudah saya lakukan sejak saya mahasiswi. Saya suka menulis opini di rubrik Surat Pembaca, yang isinya menentang arus, melawan kebijakan yang saya anggap tidak adil. Dampak yang saya rasakan yaitu saya merasa terasing dari sistem karena berjuang sendirian. Saya pun mendapat kecaman, bahkan pernah sampai harus berurusan dengan hukum. Namun kini saya sadari, setelah membaca buah pikiran Kierkegaard, itulah bagian dari perjalanan menjadi diri sendiri. ”Pada akhirnya, orang harus menemukan peran dan tempatnya dalam kehidupannya” (Judge William dalam Either/Or). Sumber : Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Thomas Hidya Tjaya, KPG, Maret 2010.