Kamis, 24 Juni 2010

Menyoal Pendidikan Gratis dan Nepotisme di Sekolah

Pendidikan gratis diberikan di tingkat SD dan SMP negeri sejalan dengan program pemerintah tentang wajib belajar 9 tahun. Namun di tingkat SMA negeri, sejalan dengan otonomi sekolah, pendidikan gratis menimbulkan ketidak-adilan. Di satu pihak, kalau guru menyekolahkan anaknya di bukan tempatnya mengajar, tidak mendapat pendidikan gratis. Kalau pun ingin mendapatkan, guru tersebut harus mengajukan permohonan kepada Komite Sekolah tempat anaknya bersekolah. Di pihak lain, adanya fasilitas pendidikan gratis di sekolah tertentu dapat menimbulkan celah NEPOTISME pada saat Penerimaan Siswa Baru (PSB). Nepotisme selain bertentangan dengan SK Walikota, juga bertentangan dengan UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam SK Walikota tentang Pedoman Teknis PSB disebutkan, PSB hanya mengenal 3 jalur; prestasi akademik, prestasi non-akademik dan siswa dari masyarakat tidak mampu. Yang menjadi sumber masalah adalah anak guru yang bisa lolos PSB, namun tidak memenuhi syarat, baik prestasi akademik maupun non-akademik. Tidak ada payung hukum bagi guru untuk mendapatkan fasilitas pendidikan gratis di sekolah (SMA) negeri bukan tempatnya mengajar (disebut dengan istilah SATUAN PENDIDIKAN TERTENTU). Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya dalam pasal 19 ayat 1 dinyatakan adanya tambahan kesejahteraan yang diperoleh guru berupa kesempatan dan keringanan biaya pendidikan bagi putra-putri guru yang telah memenuhi SYARAT-SYARAT AKADEMIK untuk menempuh pendidikan dalam SATUAN PENDIDIKAN TERTENTU.
Bagaimana dengan anak guru yang tidak memenuhi SYARAT-SYARAT AKADEMIK? dan bagaimana dengan anak guru yang bersekolah di bukan tempat orangtuanya mengajar/SATUAN PENDIDIKAN TERTENTU dengan alasan ingin menjaga objektifitas? Kalau kita perhatikan UU Guru tersebut, tambahan kesejahteraan/keringanan biaya tidak terakomodasi untuk anak guru dengan kedua kondisi di atas.
Diperlukan payung hukum dari pemerintah untuk segera memberikan pendidikan gratis kepada semua anak guru (cpns, pns, dpk, honorer, swasta, bantu) dan tenaga kependidikan lainnya yang bersekolah di sekolah negeri di tingkat SMA. Jangan sampai ketidak-adilan ini dibiarkan berlarut-larut, yang tentunya akan memengaruhi kualitas pendidikan dan program pemerintah dalam pemberantasan KKN. Kepada para guru dan tenaga kependidikan, akhirnya semua peluang terpulang kepada nurani masing-masing, apakah layak anaknya lolos melalui jalur non-akademik? Kalau sesuai prestasi, alhamdulillah. Pendidikan gratis bisa dianggap beasiswa dan merupakan rejeki yang patut disyukuri. Sedangkan kalau tidak sesuai prestasi, apakah harus memaksakan diri, yang salah satu alasannya demi mendapatkan pendidikan gratis?. Apalagi, kalau ekonominya sudah berkecukupan. Perlu disadari, yang lebih berhak mendapatkan pendidikan gratis seharusnya siswa miskin dari masyarakat tidak mampu. Jadi jangan berebut ya...
Pendidikan gratis ternyata tidak hanya membawa berkah, namun di sisi lain juga membuat sebagian guru dan tenaga kependidikan menjadi tidak amanah (tidak mematuhi SK Walikota). Di pihak lain, pemerintah juga telah mendiskriminasi anak guru, dengan HANYA mengakomodasi anak guru yang memenuhi syarat-syarat akademik pada satuan pendidikan tertentu untuk mendapatkan bantuan kesejahteraan/keringanan biaya pendidikan.
Ketidakadilan dalam pemberian pendidikan gratis dan ketidakjujuran dalam PSB, selain merusak sistem pendidikan, juga menyakiti masyarakat yang berusaha dengan jujur dan susah payah menyekolahkan anaknya melalui jalur yang benar. Apalagi sebagai PNS seharusnya lebih mengutamakan kepentingan masyarakat. Berlaku jujurlah secara kaffah, dan taatlah pada hati nurani. Sebagai pendidik hendaknya menjadi panutan, menjadi garda terdepan dalam pemberantasan KKN. Jangan karena orang lain berbuat KKN, lantas sebagai pendidik guru ikut-ikutan. Kita bisa mencontoh tokoh proklamator Mohammad Hatta, tak ada keinginan untuk melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme. Walaupun untuk itu, beliau harus hidup dalam kesederhanaan. Contoh yang lain, yaitu ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz Ra. sedang bekerja di ruang kerjanya, salah seorang putranya masuk. Maka dimatikan lampunya dengan alasan lampu tsb. diminyaki dengan minyak negara. Dengan kata lain, beliau tidak ingin menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Sungguh mulia dan sederhana.
Penentu kebijakan juga ikut bertanggungjawab membenahi sistem pendidikan. Bukannya malah memfasilitasi, yang dampaknya sistem pendidikan di Indonesia semakin karut marut. Pemberian pendidikan gratis dan nepotisme hendaknya disikapi dengan arif dan bijaksana, karena dampaknya sangat luas. Di satu pihak ingin menolong, namun di pihak lain berbuat tidak adil terhadap yang lain, dan diantaranya ada yang lebih berhak. Sebagai penutup, penulis kutipkan firman Allah, ..."Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (Al-Maidah : 2).

Catatan : Baru-baru ini (3/8-2010) saya kedatangan penghimpun dana untuk membantu pendidikan bagi siswa tidak mampu. Siswa berprestasi tsb. bersekolah di salah satu SMKN, memerlukan biaya untuk membayar tunggakan DSP dan iuran bulanan. Di lain pihak, begitu mudahnya anak guru dan tenaga kependidikan (yang nepotis) mendapatkan keringanan biaya (bebas DSP, SPP). Seharusnya siswa miskin ini lebih berhak, namun faktanya walaupun siswa tsb sudah mengantongi SKTM, ternyata tetap sulit. Ironis!

Sabtu, 05 Juni 2010

Menyoal Beban Kerja Guru 40 Jam Tatap Muka/Minggu


Berita Pikiran Rakyat (27/5-2010) menyebutkan adanya rencana Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemendiknas yang akan melaksanakan beban kerja guru PNS 40 jam tatap muka per minggu. Bagi saya, jangankan beban kerja 40 jam tatap muka/minggu, 18 jam tatap muka pun sudah sangat kewalahan, terutama pada saat musim ulangan dan remedial. Hal ini disebabkan jumlah kelas dan jumlah siswa yang terlalu banyak. Seperti diketahui, bobot tiap mata pelajaran berbeda. Untuk mata pelajaran sejarah kelas X hanya 1 jampel, kelas XI IPA 2 jampel, kelas XI IPS 3 jampel, kelas XII IPA 1 jampel dan kelas XII IPS 3 jampel per minggunya. Jampel ini berdasarkan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Dengan 18 jam tatap muka/minggu saya mengajar 10 kelas dengan jumlah siswa lebih dari 400. Bayangkan kalau harus mengajar 24 jam tatap muka/minggu, apalagi 40 jam tatap muka/minggu, betapa banyaknya jumlah kelas dan siswa yang saya ampu. Perlu diketahui, tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi juga membuat administrasi pengajaran seperti RPP, memeriksa tugas-tugas siswa, ulangan-ulangan siswa, dst. Yang menyita waktu adalah 2 hal yang terakhir ini, bagi saya tidak cukup dikerjakan di sekolah tetapi sering dibawa ke rumah. Kadang mobil saya sampai penuh oleh tugas-tugas siswa, seperti makalah dan sebagainya. Jadi jangan disamakan guru PNS dengan PNS lainnya. Kalau boleh saya memilih, lebih baik mengajar sedikit kelas (maksimal 5 kelas), paralel, daripada mengajar banyak kelas (rombongan belajar) namun siswa tidak terlayani secara individual.