Jumat, 10 Februari 2012

Jam Wajib Mengajar Guru (Bersertifikat) Timpang

Monolog, berhenti pada kata-kata
Yang teoritis berkibar di angkasa
Di lapangan, sertifikasi guru bagaikan pedang bermata dua

Sepotong puisi singkat di atas untuk menggambarkan dampak sertifikasi guru yang tidak didahului analisis yang matang di lapangan. Sebaik dan seideal apa pun teori kalau tidak disesuaikan dengan kondisi guru yang sebenarnya di lapangan akan menimbulkan "error".

Berikut adalah temuan yang saya peroleh dari lapangan berkaitan dengan sertifikasi guru, dihubungkan dengan kewajiban mengajar 24 jam per minggu. Temuan yang bersifat “human error” ini berlangsung, baik pada saat sebelum, pada saat proses maupun sesudah guru memperoleh sertifikat pendidik. Pada saat akan mengikuti program sertifikasi guru, oleh karena banyak guru tertentu yang kekurangan jam mengajar, maka jalan pintasnya dibuatlah pernyataan seolah-olah guru telah memenuhi kewajiban tsb., termasuk guru yang nol jam mengajar alias tidak mempunyai jam mengajar. Salah satu faktor guru kekurangan jam mengajar, karena ada guru yang mutasi ke sekolah tertentu tanpa melalui prosedur yang benar, padahal di sekolah tsb. sudah cukup tenaga pengajarnya, bahkan ada yang berlebih. Kalau sesuai prosedur, seharusnya ada surat keterangan lolos (dari sekolah induk), dan surat keterangan butuh (dari sekolah yang dituju). Guru yang kekurangan jam mengajar bukan semata-mata kesalahan guru tetapi kesalahan pembuat kurikulum karena telah menciptakan struktur kurikulum yang timpang, dan juga kesalahan Diknas karena belum bisa mendistribusikan/memetakan guru.

Syarat wajib mengajar 24 jam/minggu juga menyebabkan guru yang berijasah mata pelajaran X tidak mau mengajar mata pelajaran X, sehingga guru tersebut mengikuti program sertifikasi guru mata pelajaran Y, dan anehnya diloloskan. Ada juga guru mata pelajaran X mengajar mata pelajaran Y karena guru mata pelajaran Y pensiun, sehingga guru tsb. terpaksa mengajar tidak sesuai dengan mata pelajaran yang tertulis dalam sertifikatnya. Di sekolah-sekolah swasta tertentu, karena jumlah kelas sedikit, maka guru bersertifikat harus mengajar borongan/general. Artinya, guru bisa mengajar 4 macam mata pelajaran yang berbeda. 

Kewajiban mengajar 24 jam/minggu juga menyebabkan guru harus “moonlighting”. Dampaknya, ada guru yang jam mengajarnya di sekolah lain lebih dominan daripada di sekolah induk. Guru seperti inilah yang berpeluang memperoleh tunjangan profesi, daripada guru yang kekurangan jam mengajar tetapi total mengajar (mengabdi) di sekolahnya sendiri. Guru yang berpendidikan S2, golongan/pangkat tinggi atau "nyambi" mengajar sebagai dosen juga terancam tidak memperoleh tunjangan profesi kalau jam mengajar di sekolah induk kurang, dibandingkan guru yang belum berpengalaman tetapi sudah dapat memenuhi kewajiban mengajar 24 jam/minggu.

Guru yang mengajar banyak kelas (rombel), disebabkan alokasi jam mata pelajarannya sedikit akan terancam tidak dibayar tunjangan profesinya dibandingkan dengan guru yang mengajar sedikit kelas tetapi sudah bisa memenuhi kewajiban mengajar 24 jam/minggu. Dampak dari banyaknya rombel dan mata pelajaran yang diajarkan guru adalah beban administrasi yang berlebih seperti pembuatan berbagai jenis RPP, silabus, memeriksa pekerjaan siswa, remedial dll. Rata-rata jumlah siswa perkelas 40 siswa, bayangkan kalau mengajar lebih dari 15 kelas. Bandingkan dengan guru Bimbingan dan Penyuluhan, menangani 150 siswa sudah setara 24 jam mengajar/minggu.

Inikah yang dikehendaki program sertifikasi guru? Ketimpangan alokasi jam mengajar antar guru mata pelajaran telah menimbulkan kecemburuan sosial. Sekarang Kemendiknas berusaha menjaring guru yang benar-benar berkualitas melalui uji kompetensi, akan tetapi setelah lulus bagaimana dengan jam wajib mengajarnya? Bisakah semua guru mata pelajaran terpenuhi sesuai dengan yang tertulis pada sertifikatnya? Seharusnya sebelum program sertifikasi guru dilaksanakan, benahi dulu struktur kurikulum dan adakan pemetaan guru secara matang sehingga guru tertentu tidak menjadi korban kebijakan.