Kamis, 11 Juli 2013

Nepotisme dalam PPDB Berlanjut

                PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) di beberapa sekolah negeri, terutama di kota besar, sudah selesai. Bagi calon siswa yang diterima, sekolah negeri mewajibkan daftar ulang. Sedangkan bagi calon siswa yang tidak lolos seleksi, terpaksa harus mencari sekolah lain (sekolah swasta).
                Sejak tahun 2005 saya sudah mengkritisi nepotisme dalam penerimaan siswa baru di media cetak. Tulisan saya di media cetak dimuat di Galamedia “Sistem PSB Perlu Dibenahi” (6/6-2005), koran PR dengan judul “Benahi Serius Sisten PSB” (9/6-2005), “Nurani Guru dalam PSB” (Kompas, 22/5-2007), “Nepotisme dalam PSB” (Kompas, 11/1-2008), “Pendidikan Gratis Tidak Adil, Guru Sakit Hati” (Kompas, 2/6-2009). Kemudian berlanjut di media online (GuruAntiKorupsi, 13/5-2009). Sampai tahun ajaran sekarang, nepotisme bukannya dikikis habis seiring dengan pendidikan karakter, malah difasilitasi, bahkan ada yang dilegalkan melalui perwal dengan label “Bina Lingkungan” atau “Ramah Lingkungan”. Hal ini bertentangan dengan instruksi Presiden No. 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
                Seperti yang terjadi di Semarang, surat sakti jadi “free pass”, modus siswa titipan lolos seleksi rusak sistem pendidikan (SM Cetak, 4/7-2013) dan penambahan poin nilai kemaslahatan bagi anak guru (SM Cetak, 3/7-2013). Di kota besar lain, ada sekolah-sekolah negeri tertentu yang juga memfasilitasi anak guru dan tenaga kependidikan tanpa proses seleksi (bahkan DSP dan SPP pun digratiskan),  sehingga ada calon siswa yang posisinya dikalahkan oleh anak guru yang nilai ujian nasionalnya lebih rendah, karena orangtuanya mengajar di sekolah itu (Tribunnews.com, 5/7-2013). Di sekolah negeri tertentu, jalur Bina Lingkungan menjadi pintu masuk anak kerabat guru, komite sekolah dsb.
                Ketika Ayah saya masih menjabat dosen salah satu Perguruan Tinggi terkemuka, beliau tidak mau memanfaatkan jabatannya untuk memasukkan saya ke salah satu fakultas yang saya minati. Kini saya menjabat sebagai guru PNS, saya pun melakukan hal yang sama yaitu tidak menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi. Saya tidak ingin menyakiti calon siswa lain yang notabene tidak mempunyai akses pendidikan dengan melakukan jalan pintas. Sebaliknya, saya pun selalu menolak kalau ada orangtua yang menitipkan anaknya tidak sesuai prosedur.