Kamis, 12 September 2013

Mutu Siswa, Guru dan Ujian Nasional

                Berita pikiran-rakyat.com (22/8-2013) menyebutkan, 300 mahasiswa sebuah PTN terancam di DO karena IP < 2,00. Bertolak belakang dengan berita di atas, di sekolah tertentu justru menaikkan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) supaya kalau siswa mendapat nilai rendah dalam Ujian Nasional (UN) siswa bisa lulus sekolah, karena kelulusan siswa ditentukan 40% Nilai Sekolah 60% Ujian Nasional. Dengan nilai semu (hasil katrolan), beberapa siswa tidak dapat mengukur potensi akademik “yang sebenarnya” ketika melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Akhirnya yang dialami mahasiswa adalah kegagalan, seperti berita di atas, selain mungkin ada faktor penyebab yang lain.
                Berikut adalah kasus yang penulis catat dari berita HU Pikiran Rakyat. Siswa SMP belum bisa baca tulis hitung. Anehnya, siswa tsb. bisa lulus UASBN dengan nilai kelulusan baik (6/12-2011). Siswa SMA belum bisa baca dan tulis. Anehnya, siswa tsb. memperoleh nilai UN melampaui passing grade salah satu SMAN (29/7-2011). Kalau mutu siswa seperti ini, siapa yang bertanggungjawab? Bagaimana bisa UN dijadikan alat evaluasi sistem pendidikan?
                Sebagian siswa kini terjebak pendidikan hipokrit, karena mengejar KKM tinggi tanpa daya dukung yang memadai. Sebagian siswa yang lain menjadi apatis dan kehilangan motivasi belajar, karena serendah apa pun nilai ulangan yang diperoleh, sekolah akan mengatrolnya. Agenda sekolah yang berusaha meluluskan siswanya 100% dan meloloskannya sebanyak mungkin masuk PTN melalui jalur undangan  telah menghancurkan sistem imun guru idealis (kemampuan untuk menolak sistem). Yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah “sakit jiwa” pendidikan, biang keladinya adalah KKM yang dibuat oleh guru/sekolah tidak mengacu kepada kemampuan siswa yang sebenarnya, sehingga siswa yang kemampuannya masih rendah “dipaksa” untuk mencapai KKM, sehingga dalam perjalanannya sering terjadi “error” seperti tugas remidi yang hanya sekedar formalitas, bahkan yang lebih parah nilai ditukar dengan barang (tas, uang, buku dsb.). Pendidikan yang hancur lebur ini sangat memprihatinkan. Mau seperti apa generasi mendatang kalau kondisi ini dibiarkan?