Berita
pikiran-rakyat.com (22/8-2013) menyebutkan, 300 mahasiswa sebuah PTN terancam
di DO karena IP < 2,00. Bertolak belakang dengan berita di atas, di sekolah
tertentu justru menaikkan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) supaya kalau siswa
mendapat nilai rendah dalam Ujian Nasional (UN) siswa bisa lulus sekolah,
karena kelulusan siswa ditentukan 40% Nilai Sekolah 60% Ujian Nasional. Dengan
nilai semu (hasil katrolan), beberapa siswa tidak dapat mengukur potensi
akademik “yang sebenarnya” ketika melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Akhirnya
yang dialami mahasiswa adalah kegagalan, seperti berita di atas, selain mungkin
ada faktor penyebab yang lain.
Berikut
adalah kasus yang penulis catat dari berita HU Pikiran Rakyat. Siswa SMP belum
bisa baca tulis hitung. Anehnya, siswa tsb. bisa lulus UASBN dengan nilai
kelulusan baik (6/12-2011). Siswa SMA belum bisa baca dan tulis. Anehnya, siswa
tsb. memperoleh nilai UN melampaui passing grade salah satu SMAN (29/7-2011).
Kalau mutu siswa seperti ini, siapa yang bertanggungjawab? Bagaimana bisa UN
dijadikan alat evaluasi sistem pendidikan?
Sebagian
siswa kini terjebak pendidikan hipokrit, karena mengejar KKM tinggi tanpa daya
dukung yang memadai. Sebagian siswa yang lain menjadi apatis dan kehilangan
motivasi belajar, karena serendah apa pun nilai ulangan yang diperoleh, sekolah
akan mengatrolnya. Agenda sekolah yang berusaha meluluskan siswanya 100% dan
meloloskannya sebanyak mungkin masuk PTN melalui jalur undangan telah menghancurkan sistem imun guru idealis
(kemampuan untuk menolak sistem). Yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah
“sakit jiwa” pendidikan, biang keladinya adalah KKM yang dibuat oleh
guru/sekolah tidak mengacu kepada kemampuan siswa yang sebenarnya, sehingga
siswa yang kemampuannya masih rendah “dipaksa” untuk mencapai KKM, sehingga
dalam perjalanannya sering terjadi “error” seperti tugas remidi yang hanya
sekedar formalitas, bahkan yang lebih parah nilai ditukar dengan barang (tas,
uang, buku dsb.). Pendidikan yang hancur lebur ini sangat memprihatinkan. Mau
seperti apa generasi mendatang kalau kondisi ini dibiarkan?