Dalam PP 74 Tahun 2005 tentang guru disebutkan, bahwa guru
bersertifikat wajib mengajar 24 jam sepekan. Bagi yang belum memenuhi target,
terpaksa mensiasatinya dengan memegang jabatan fiktif atau bahkan memanfaatkan
jam mengajar guru honor. Yang membuat miris, ada guru bersertifikat menggunakan
jasa joki karena tidak berkemampuan mengajar. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Kejadiannya adalah, guru A setelah lulus sarjana pendidikan mata pelajaran X
tidak pernah mengajar. Anehnya, walaupun tidak mengajar, guru A dengan lancar
berhasil naik ke golongan IV/A. Ketika program sertifikasi diluncurkan, guru A oleh
sekolah diikutsertakan. Sungguh ajaib, melalui 2 kali remedial, akhirnya guru A
berhasil lulus dan mendapatkan sertifikat sebagai “guru profesional mata
pelajaran X”. Dan yang meluluskannya adalah salah satu LPTK terbaik se-Indonesia.
Setelah lulus, guru A tidak ada perubahan artinya tetap TIDAK BERKEMAMPUAN
mengajar, walaupun sudah diberi kesempatan mengajar berkali-kali. Tentunya yang
menilai adalah siswa. Akhirnya guru mata pelajaran sejenis menggantikannya,
tentu kedudukannya sebagai joki, karena jam mengajarnya tetap atas nama guru A.
Saya ngeri membayangkan kejadian nyata ini ada di salah satu
sekolah favorit. Yang membuat saya heran, guru A ini sangat dilindungi privasinya,
bahkan diusulkan mendapatkan penghargaan dari walikota mengingat masa kerjanya
sudah lebih dari 30 tahun.
Saya selalu ingat akhir kalimat dari “SURAT PERNYATAAN
MELAKSANAKAN TUGAS”. Di sana tertulis, bahwa mengingat sumpah jabatan dan
apabila di kemudian hari isi pernyataan tidak benar yang mengakibatkan kerugian
terhadap Negara, maka saya bersedia menanggung kerugian tersebut. Akan tetapi
apakah benar guru A mengerti dan memahami surat pernyataan tersebut? Dan
mengapa Pengawas serta Kepala Sekolah menandatanganinya kalau isinya tidak
benar?