Jumat, 20 April 2012

Larangan Membawa Handphone ke Sekolah Dilanggar

            Berdasarkan ketentuan, siswa dilarang membawa handphone ke sekolah pada saat Ujian Nasional. Demikian pula dengan sekolah penyelenggara tempat saya menjadi pengawas ujian nasional, sudah ada pengumuman kepada siswa agar tidak membawa handphone ke sekolah. Namun pada hari keempat ujian nasional (kamis, 19 April 2012), saya mendapatkan kenyataan yang mengejutkan, Pada jam pertama, begitu memasuki ruangan ujian, di meja pengawas saya dapatkan handphone siswa yang sedang di-cas. Spontan saya mencabut kabel yang menyambung dari stop-kontak  ke handphone. Kemudian  saya menyuruh siswa-siswi yang membawa handphone menitipkan kepada panitia. Saya sangat kaget karena di sekolah favorit berlabel RSBI ini hampir semua siswa membawa handphone.
          Saat ujian nasional pada jam kedua, mata pelajaran Biologi dengan alokasi 2 jam, siswa-siswi rata-rata telah menyelesaikan ujiannya. Dugaan saya, materi ujian sangat mudah, sehingga banyak siswa tiduran dengan kepala telungkup di meja, sepertinya ngantuk dan bosan. Menjelang sepuluh menit ujian usai, saya dengan rekan pengawas berinisiatip mengumpulkan berkas soal dan lembar jawaban (LJUN). Setelah kami kumpulkan semua, kemudian kami hitung. Setelah itu kami masukkan dalam amplop khusus dan kami tutup rapat dengan perekat yang sudah disediakan. Dengan tanpa kami sadari, karena merasa ujian sudah selesai, siswa-siswi tersebut kemudian mengambil tasnya masing-masing dan membukanya. Apa yang tidak kami duga adalah, siswa-siswi tersebut mengambil handphone masing-masing dan ber-sms-ria.
       Apakah ini kelalaian kami sebagai pengawas, karena sebelum ujian dimulai tidak melakukan pemeriksaan terlebih dahulu  terhadap tas siswa? Bukankah, kalaupun ada pemeriksaan seharusnya dilakukan oleh rekan guru pengawas pada jam ujian yang pertama? Saya percaya saja kepada siswa-siswi berlabel RSBI ini yang akan taat kepada peraturan sekolah. Sebagai pengawas, selama 3 hari pertama ujian nasional saya tidak berani membawa handphone ke sekolah (apalagi semua ruangan kelas dipasang CCTV) dengan asumsi siswa saja dilarang masa gurunya melanggar? Barulah pada hari keempat, saya terpaksa membawa handphone karena ada janji dengan anak saya yang sekolah di SMPN yang lokasinya berdekatan dengan sekolah penyelenggara di mana saya mengawas. Dan memang setahu saya, bagi pengawas tidak ada ketentuan larangan membawa handphone ke sekolah. Begitu tiba di sekolah, handphone langsung saya titipkan kepada Panitia. 
        Saya terkejut dengan pelanggaran yang dilakukan oleh siswa-siswi terbaik di sekolah favorit ini. Perilakunya sangat bertentangan dengan slogan "Knowledge is power but Character is more" yang terpampang di ruang guru. Walaupun kelihatan sepele, namun dampaknya pasti akan luar biasa. Bagaimana kalau mereka nanti bekerja di instansi pemerintahan?

Jumat, 10 Februari 2012

Jam Wajib Mengajar Guru (Bersertifikat) Timpang

Monolog, berhenti pada kata-kata
Yang teoritis berkibar di angkasa
Di lapangan, sertifikasi guru bagaikan pedang bermata dua

Sepotong puisi singkat di atas untuk menggambarkan dampak sertifikasi guru yang tidak didahului analisis yang matang di lapangan. Sebaik dan seideal apa pun teori kalau tidak disesuaikan dengan kondisi guru yang sebenarnya di lapangan akan menimbulkan "error".

Berikut adalah temuan yang saya peroleh dari lapangan berkaitan dengan sertifikasi guru, dihubungkan dengan kewajiban mengajar 24 jam per minggu. Temuan yang bersifat “human error” ini berlangsung, baik pada saat sebelum, pada saat proses maupun sesudah guru memperoleh sertifikat pendidik. Pada saat akan mengikuti program sertifikasi guru, oleh karena banyak guru tertentu yang kekurangan jam mengajar, maka jalan pintasnya dibuatlah pernyataan seolah-olah guru telah memenuhi kewajiban tsb., termasuk guru yang nol jam mengajar alias tidak mempunyai jam mengajar. Salah satu faktor guru kekurangan jam mengajar, karena ada guru yang mutasi ke sekolah tertentu tanpa melalui prosedur yang benar, padahal di sekolah tsb. sudah cukup tenaga pengajarnya, bahkan ada yang berlebih. Kalau sesuai prosedur, seharusnya ada surat keterangan lolos (dari sekolah induk), dan surat keterangan butuh (dari sekolah yang dituju). Guru yang kekurangan jam mengajar bukan semata-mata kesalahan guru tetapi kesalahan pembuat kurikulum karena telah menciptakan struktur kurikulum yang timpang, dan juga kesalahan Diknas karena belum bisa mendistribusikan/memetakan guru.

Syarat wajib mengajar 24 jam/minggu juga menyebabkan guru yang berijasah mata pelajaran X tidak mau mengajar mata pelajaran X, sehingga guru tersebut mengikuti program sertifikasi guru mata pelajaran Y, dan anehnya diloloskan. Ada juga guru mata pelajaran X mengajar mata pelajaran Y karena guru mata pelajaran Y pensiun, sehingga guru tsb. terpaksa mengajar tidak sesuai dengan mata pelajaran yang tertulis dalam sertifikatnya. Di sekolah-sekolah swasta tertentu, karena jumlah kelas sedikit, maka guru bersertifikat harus mengajar borongan/general. Artinya, guru bisa mengajar 4 macam mata pelajaran yang berbeda. 

Kewajiban mengajar 24 jam/minggu juga menyebabkan guru harus “moonlighting”. Dampaknya, ada guru yang jam mengajarnya di sekolah lain lebih dominan daripada di sekolah induk. Guru seperti inilah yang berpeluang memperoleh tunjangan profesi, daripada guru yang kekurangan jam mengajar tetapi total mengajar (mengabdi) di sekolahnya sendiri. Guru yang berpendidikan S2, golongan/pangkat tinggi atau "nyambi" mengajar sebagai dosen juga terancam tidak memperoleh tunjangan profesi kalau jam mengajar di sekolah induk kurang, dibandingkan guru yang belum berpengalaman tetapi sudah dapat memenuhi kewajiban mengajar 24 jam/minggu.

Guru yang mengajar banyak kelas (rombel), disebabkan alokasi jam mata pelajarannya sedikit akan terancam tidak dibayar tunjangan profesinya dibandingkan dengan guru yang mengajar sedikit kelas tetapi sudah bisa memenuhi kewajiban mengajar 24 jam/minggu. Dampak dari banyaknya rombel dan mata pelajaran yang diajarkan guru adalah beban administrasi yang berlebih seperti pembuatan berbagai jenis RPP, silabus, memeriksa pekerjaan siswa, remedial dll. Rata-rata jumlah siswa perkelas 40 siswa, bayangkan kalau mengajar lebih dari 15 kelas. Bandingkan dengan guru Bimbingan dan Penyuluhan, menangani 150 siswa sudah setara 24 jam mengajar/minggu.

Inikah yang dikehendaki program sertifikasi guru? Ketimpangan alokasi jam mengajar antar guru mata pelajaran telah menimbulkan kecemburuan sosial. Sekarang Kemendiknas berusaha menjaring guru yang benar-benar berkualitas melalui uji kompetensi, akan tetapi setelah lulus bagaimana dengan jam wajib mengajarnya? Bisakah semua guru mata pelajaran terpenuhi sesuai dengan yang tertulis pada sertifikatnya? Seharusnya sebelum program sertifikasi guru dilaksanakan, benahi dulu struktur kurikulum dan adakan pemetaan guru secara matang sehingga guru tertentu tidak menjadi korban kebijakan.