Minggu, 17 Mei 2015

Joki Mengajar dalam Sertifikasi Guru

Dalam PP 74 Tahun 2005 tentang guru disebutkan, bahwa guru bersertifikat wajib mengajar 24 jam sepekan. Bagi yang belum memenuhi target, terpaksa mensiasatinya dengan memegang jabatan fiktif atau bahkan memanfaatkan jam mengajar guru honor. Yang membuat miris, ada guru bersertifikat menggunakan jasa joki karena tidak berkemampuan mengajar. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Kejadiannya adalah, guru A setelah lulus sarjana pendidikan mata pelajaran X tidak pernah mengajar. Anehnya, walaupun tidak mengajar, guru A dengan lancar berhasil naik ke golongan IV/A. Ketika program sertifikasi diluncurkan, guru A oleh sekolah diikutsertakan. Sungguh ajaib, melalui 2 kali remedial, akhirnya guru A berhasil lulus dan mendapatkan sertifikat sebagai “guru profesional mata pelajaran X”. Dan yang meluluskannya adalah salah satu LPTK terbaik se-Indonesia. Setelah lulus, guru A tidak ada perubahan artinya tetap TIDAK BERKEMAMPUAN mengajar, walaupun sudah diberi kesempatan mengajar berkali-kali. Tentunya yang menilai adalah siswa. Akhirnya guru mata pelajaran sejenis menggantikannya, tentu kedudukannya sebagai joki, karena jam mengajarnya tetap atas nama guru A.

Saya ngeri membayangkan kejadian nyata ini ada di salah satu sekolah favorit. Yang membuat saya heran, guru A ini sangat dilindungi privasinya, bahkan diusulkan mendapatkan penghargaan dari walikota mengingat masa kerjanya sudah lebih dari 30 tahun.

Saya selalu ingat akhir kalimat dari “SURAT PERNYATAAN MELAKSANAKAN TUGAS”. Di sana tertulis, bahwa mengingat sumpah jabatan dan apabila di kemudian hari isi pernyataan tidak benar yang mengakibatkan kerugian terhadap Negara, maka saya bersedia menanggung kerugian tersebut. Akan tetapi apakah benar guru A mengerti dan memahami surat pernyataan tersebut? Dan mengapa Pengawas serta Kepala Sekolah menandatanganinya kalau isinya tidak benar?

Kamis, 16 April 2015

Sebelas Guru Dipenjara Gara-gara Membiarkan Siswanya Saling Menyontek

ATLANTA - Sidang kasus kecurangan sistemik sekolah-sekolah negeri tingkat dasar dan menengah di Kota Atlantik mencapai tahap akhir. Selasa waktu setempat (14/4), Pengadilan Tinggi Fulton County membacakan vonis bagi sebelas pendidik yang terlibat dalam skandal masif tersebut. Adu mulut sempat mewarnai persidangan. 
Sebelumnya, seluruh terpidana dinyatakan bersalah pada sidang 1 April lalu. Saat itu, seorang terdakwa dinyatakan bebas. Selasa lalu, giliran hakim Jerry Baxter membacakan vonis untuk para terpidana. Satu per satu terpidana menghadap Baxter. Didampingi pengacara masing-masing, para guru dan kepala sekolah serta penanggung jawab ujian itu mendengarkan vonis.

Ketegangan sempat mewarnai persidangan saat hakim beradu argumen dengan pengacara. Itu terjadi karena sebagian terpidana tidak langsung mengakui kesalahan mereka. 'Semua orang mulai berteriak-teriak mengomentari (membela) para terpidana ini. Ini bukanlah kejahatan yang tanpa korban!' seru Baxter di hadapan para seluruh terpidana dan tim pembela.

Beberapa kali nada suara Baxter terdengar meninggi. Tetapi, pengacara-pengacara para terpidana itu pun tidak kalah ngotot. Bahkan, salah seorang pengacara mengancam akan mendiskualifikasi Baxter yang dianggap menjatuhkan hukuman terlalu berat kepada kliennya. Tetapi, Baxter bergeming. 'Saya bisa mengirim Anda ke penjara sekalian,' tegasnya.

Pengacara Sharon Davis-Williams, guru yang diganjar hukuman tujuh tahun penjara, tidak menerima putusan yang dijatuhkan Baxter. Dia sempat mengajukan protes. 'Semua orang tahu bahwa kecurangan sedang terjadi dan klien Anda malah melakukannya,' tegas Baxter menanggapi protes sang pengacara. Selain dimasukkan sel, Davis-Williams dikenai denda dan kerja sosial 2.000 jam.

Sepuluh terpidana yang lain juga dikenai denda dan kerja sosial oleh Baxter. Pengadilan menjatuhkan vonis yang berat untuk memberikan efek jera kepada para terpidana. Sebab, menurut Baxter, praktik kecurangan lewat memberikan jawaban, mengubah jawaban siswa, dan membiarkan siswa saling menyontek saat ujian berlangsung itu harus dihentikan.

Di akhir persidangan, Baxter menjatuhkan vonis maksimal tujuh tahun. Rata-rata para terpidana itu diganjar hukuman kerja sosial atau denda. Para terpidana pasrah menerima hukuman yang ditetapkan Baxter. Tetapi, publik Atlanta terbelah menanggapi vonis bagi para pendidik itu. Sebagian menganggap hakim terlalu kejam dan sebagian yang lain mendukung penuh kebijakan pengadilan.

Akibat tindakan curang para guru dan kepala sekolah serta penanggung jawab ujian itu, Dinas Pendidikan Negara Bagian Georgia tidak bisa memetakan secara tepat perkembangan sekolah-sekolah negeri di Atlanta. Sebab, para terpidana itu mengaburkan data lewat rekayasa nilai ujian. Selain menguntungkan siswa, kecurangan sistemik itu membuat rapor merah sejumlah sekolah lenyap.

Kecurangan yang pertama terungkap pada 2009 itu, kabarnya, berlangsung sejak 2001. Tetapi, untuk kasus yang disidangkan sekitar enam tahun terakhir ini, pengadilan hanya menggunakan data-data dari 2009 sampai sekarang. Data-data dari tahun yang terbatas itu pun sudah mampu mengirim para pendidik tersebut ke balik jeruji besi. (AP/CNN/New York Times/hep/c4/dos/jpnn)