Rabu, 07 September 2011

Pelatihan Guru

Menurut Drs. Moekijat (Bapak saya) dalam bukunya "Evaluasi Pelatihan", tujuan umum pelatihan adalah :
1. Untuk mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif
2. Untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional
3. Untuk mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman pegawai dan dengan manajemen (pimpinan).
Menurut Instruksi Presiden No.15 tahun 1974 latihan dirumuskan sebagai berikut :
Latihan adalah bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan ketrampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu yang relatif singkat dan dengan metoda yang lebih mengutamakan praktek daripada teori.
Sedangkan dalam Surat Edaran Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara, Nomor 57686/MPK/1989, Nomor 38/SE/1989 Tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Guru dalam Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, butir 4 (4), “Pendidikan dan Latihan Kedinasan adalah upaya pemberian bekal atau peningkatan atau pemantapan pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan profesi guru yang bermanfaat dalam pelaksanaan tugas guru. Dalam UU Guru dan Dosen pasal 14 ayat (1) tentang Hak dan Kewajiban disebutkan antara lain, “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya”. Yang menjadi masalah di lapangan adalah tidak setiap guru beruntung memperoleh kesempatan mengikuti pelatihan, baik yang diselenggarakan oleh Diknas maupun MGMP. Hal itu disebabkan antara lain selain karena faktor intern (kondisi sekolah/guru), juga dipengaruhi faktor ekstern (subjektifitas dalam penunjukkan guru). Sehingga yang terjadi adalah, ada guru yang terus menerus memperoleh pelatihan, ada juga guru yang sama sekali belum memperoleh kesempatan untuk mengikuti pelatihan, yang berakibat merugikan guru yang bersangkutan. Namun sebenarnya yang terpenting, sampai sejauh mana pelatihan tersebut bermanfaat baik bagi guru, pelatih, Dinas Pendidikan maupun bagi manajemen sekolah. Jangan sampai pelatihan guru hanya sebagai seremonial belaka untuk menghabiskan anggaran. Sedangkan bagi guru hanya sebatas mengejar sertifikat. Untuk itu perlu ada evaluasi segera setelah pelatihan berlangsung untuk menentukan pengaruh pelatihan.
Di perkotaan, pelatihan yang bersifat umum (pendidikan) mungkin bisa dilakukan secara mandiri dan swadaya. Namun pelatihan yang sesuai (terkait) dengan bidang studi jarang diselenggarakan. Kalaupun ada, informasinya terbatas atau dibatasi. Pelatihan sangat penting bagi guru, bukan hanya untuk memperoleh dan meningkatkan ketrampilan, namun juga untuk menambah angka kredit dalam kenaikan pangkat/jabatan.

Jumat, 02 September 2011

Antara Topaz, Botchan dan Aku

Ada persamaan diantara ketiga tokoh tersebut. Ketiganya merupakan guru di sekolah.

Perbedaannya :

“Topaz, Sang Guru” merupakan cerita karya Marcel Pagnol berbentuk drama, terbit tahun 1969 (aku membacanya tahun 1988). Topaz adalah guru sejarah dan budi pekerti di sebuah SD. Ia sederhana, jujur, lugu dan polos. Selama puluhan tahun ia melaksanakan tugas mengajar dengan sebaik-baiknya dengan gaji yang kecil. Namun direktur sekolah mendepaknya begitu saja. Salah satu alasannya, Topaz tidak mau melakukan ketidakadilan.

“Botchan” merupakan sebuah novel karya Natsume Kinnosuke, terbit tahun 1906 (aku membacanya tahun 2011). Botchan adalah seorang guru muda, seorang pemberontak terhadap “sistem” di sebuah sekolah desa. Botchan mengundurkan diri dari profesinya sebagai guru, karena tidak mau melakukan ketidakadilan.

“Aku” juga seorang guru sejarah, sangat benci dengan “sistem” yang berlaku di sekolahku. Banyak sekali penyimpangan (ketidakadilan). Aku pernah melawan, namun karena aku berjuang sendirian aku kalah.

Bedanya antara aku dengan kedua “tokoh” di atas adalah, sampai detik ini aku tetap bertahan sebagai guru.

Kamis, 18 Agustus 2011

Siswa "Nyontek", Gaji Guru Malah Dipotong

INILAH.COM, New York – Seorang guru di New York harus membayar mahal ulah para pelajarnya yang nyontek. Sebab, pihak sekolah malah memotong gajinya. Kok bisa?

Guru ilmu komputer di Stern School of Business, University of New York, Panagiotis Ipeirotis, baru-baru ini menulis di blognya mengenai sejumlah siswa yang ia pergoki saat nyontek. Si dosen kini bersumpah takkan melakukannya lagi, karena ia malah mendapat hukuman finansial.

Ia menemukan banyak contoh kasus plagiat melalui Turnitin, sebuah sistem komputer untuk membandingkan dokumen ke database sumber raksasa. Sistem itu memang dibuat untuk melihat apakah seorang siswa melakukan plagiatisme.

Sejumlah siswa, menurutnya, terang-terangan nyontek. Saat memegorkinya, Ipeirotis langsung mengirimkan email ke seluruh kelas mengenai hal ini. Pada akhir semester, 22 dari 108 siswa di kelasnya mengaku nyontek saat mengerjakan tugas mereka.

Akhirnya, para plagiat itu ia berikan nilai jelek. Namun saat para siswa disuruh mengisi evaluasi guru, mereka balik menyerang Ipeirotis. Peringkat si profesor ini kemudian turun hingga satu poin. Hasilnya, ia menerima kenaikan tahunan paling kecil.

“Alasan sekolah (mengurangi kenaikan gajinya), nilai evaluasi saya rendah,” ujarnya. Apa sebenarnya yang ia tulis di blognya dan membuat pihak sekolah ‘tersinggung’?

Apakah ini semua layak untuk dilakukan? Tentu saja tidak. Tak hanya membayar dampaknya secara finansial karena ‘melakukan hal benar’ (benarkah saya?), saya malah dikuliahi guru senior bahwa saya harus mengganti tugas yang saya berikan (terima kasih, tapi berkat ini saya menemukan kecurangan).

Saya tak suka pengalaman mengajar secara keseluruhan, ini yang terpenting buat saya. Mengajar jadi mengganggu dan membosankan. Ada dinamis yang berbeda di kelas, yang tak saya nikmati. Apakah saya akan mengejar kasus nyontek lagi? Never, ever again!

Posting tersebut telah ia hapus dari blognya. Namun, salinannya sudah banyak beredar di internet.

Selasa, 16 Agustus 2011

Guru Dilarang Menerima Parsel

Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung menegaskan, kepala sekolah dan guru tidak diperkenankan menerima parsel Lebaran. Sama saja dengan gratifikasi (PR, 16/8-2011). Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.

Setiap tahun, terutama di sekolah favorit, memang selalu saja ada orang tua siswa yang membagikan parsel Lebaran kepada guru-guru, khususnya kepada guru-guru mata pelajaran yang mengajar di kelas siswa tersebut berada. Karena parsel dibagikan secara kolektif, biasanya melalui wakasek humas, guru-guru termasuk wali kelas tertentu menjadi segan untuk menolaknya, khawatir menimbulkan salah paham (ketersinggungan).

Larangan menerima parsel bagi guru tidak akan efektif kalau sekolah tidak proaktif mengeluarkan Surat Pemberitahuan kepada orang tua supaya tidak memberikan parsel. Sebaiknya secara tegas sekolah membuat peraturan tertulis tentang larangan orang tua siswa memberikan hadiah kepada guru selama siswa masih dalam proses menjalani pendidikan di sekolah tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga objektivitas penilaian terhadap siswa.

Jumat, 17 Juni 2011

Bimbel (Jangan) Masuk Sekolah

Inspektorat Gowa memeriksa sepuluh guru karena diduga telah membuka bimbel kepada pelajar tingkat SMP. Setiap peserta dipungut biaya Rp. 1, 5 juta perorang (fajar.co.id, 13 Juni 2011). Bandingkan dengan Surat Pembaca yang berasal dari orangtua siswa, dimuat di Media Indonesia (17/6-2011). Isinya tentang keprihatinan orangtua siswa melihat anak-anak kelas XII di salah satu SMAN unggulan di Jakarta dipaksa oleh sekolah mengikuti bimbel tanpa permintaan persetujuan dari orangtua. Belakangan ternyata guru-guru tidak tahu ada program itu. Pihak sekolah seakan ‘mencuri’ jam belajar serta memasukkan bimbel di jam yang seharusnya mereka belajar dengan guru mereka.
Berita pertama, banyak terjadi di kota-kota besar, guru membuka bimbel dan les privat kepada siswanya sendiri, namun tidak ada sanksi dari Inspektorat. Padahal, seperti halnya di Gowa, pendidikan dasar sembilan tahun sudah digratiskan. Bedanya, di Gowa bimbel juga ikut digratiskan. Sehingga, ketika guru membuka bimbel dengan memungut biaya, menimbulkan polemik.
Berita kedua, di kota besar bimbel tertentu dengan gencar dan agresif melakukan promosi ke sekolah-sekolah tertentu (terutama sekolah favorit), masuk ke kelas-kelas dengan ‘mengambil’ jam mengajar guru. Sebagai kompensasi, guru mendapat komisi karena jam mengajarnya terpakai oleh bimbel.
Masuknya bimbel ke sekolah-sekolah menimbulkan kesan guru tidak mampu mengajar dan mendidik. Sedangkan komisi yang dterima guru dari bimbel, termasuk suap atau hadiah?

Jumat, 03 Juni 2011

Persahabatan Tanpa Kejujuran

Berita 1:

Siswa SD Dipaksa Curang Saat Ujian

“…para murid dikumpulkan seorang guru untuk membuat suatu kesepakatan bersama. Kesepakatan itu mengharuskan murid-murid yang pintar membantu murid lain yang kurang pintar. Sang guru berpesan bahwa kesepakatan itu dibuat demi kebaikan sehingga tidak boleh bocor ke pihak manapun.” (Media Indonesia, 30 Mei 2011)

Berita 2:

Terkuak, Operasi Contek Mencontek UN SD Libatkan Guru di Surabaya

“Seorang wali murid sebuah SDN kawasan kecamatan Tandes melaporkan wali kelas anaknya yang diduga merancang kerja sama contek mencontek dengan menggunakan anaknya sebagai sumber contekan.” (Surabaya.net, 02 Juni 2011)

Kasih sayang seorang guru kepada murid untuk “menyelamatkan” masa depan murid yang kurang secara akademik (kognitif) telah mengorbankan murid lain yang telah bekerja keras belajar dan berbuat jujur.

Firman Allah, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah ayat 2)